Kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk sektor industri akan diperpanjang hingga tahun 2025. Keputusan ini memberikan harapan baru bagi sektor industri, karena tidak hanya menjamin kepastian usaha dan daya saing, tetapi juga menjadikan HGBT sebagai daya tarik untuk investasi di Indonesia. Antara tahun 2020 hingga 2023, HGBT memberikan dampak positif bagi sektor industri dengan total mencapai Rp247,26 Triliun. Ini mencakup peningkatan ekspor sebesar Rp127,84 Triliun, peningkatan penerimaan pajak sebesar Rp23,3 Triliun, serta pengurangan subsidi pupuk sebesar Rp4,94 Triliun. "Kebijakan HGBT yang diterapkan pada industri juga memberikan nilai tambah hingga enam kali lipat," ungkap Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Sabtu (25/1). Oleh karena itu, Menperin menekankan bahwa penerapan HGBT sangat penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan mencapai 8 persen di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Untuk mencapai target tersebut, sektor manufaktur diharapkan dapat memberikan kontribusi sebesar 21,9% terhadap PDB nasional pada periode 2025 hingga 2029. Melihat kinerja sektor industri pengolahan nonmigas, pada triwulan III tahun 2024, sektor ini tetap menjadi kontributor utama PDB Indonesia dengan kontribusi sebesar 17,18% dan pertumbuhan sebesar 4,84%. Nilai ekspor sektor ini pada tahun 2024 diperkirakan mencapai USD196,55 Miliar, yang merupakan 74,25% dari total ekspor nasional. Investasi yang masuk ke sektor industri nonmigas tercatat sebesar Rp515,7 Triliun, setara dengan 40,9% dari total investasi nasional, sementara serapan tenaga kerja mencapai 20,01 juta orang pada tahun 2024. "Sektor industri pengolahan nonmigas memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap perekonomian kita, sehingga perlu adanya upaya untuk terus memperkuat dan memastikan pertumbuhannya. Dukungan maksimal diperlukan untuk mengoptimalkan kinerjanya, salah satunya melalui keberlanjutan penerapan HGBT," jelas Menperin. Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 255K Tahun 2024 mengenai Pengguna Gas Bumi Tertentu dan Harga Gas Bumi Tertentu di Sektor Industri, terdapat tujuh sektor industri yang menjadi penerima HGBT, yaitu industri pupuk (4 perusahaan), industri petrokimia (56 perusahaan), industri oleokimia (10 perusahaan), industri baja (67 perusahaan), industri keramik (69 perusahaan), industri kaca (18 perusahaan), dan industri sarung tangan karet (4 perusahaan). Dengan demikian, total terdapat 228 perusahaan yang menerima HGBT dengan kuota sebesar 890,24 BBTUD. Pada tahun 2023, realisasi penyerapan gas bumi mencapai 80,10%. Menurut Agus, rendahnya serapan gas oleh industri disebabkan oleh penerapan surcharge oleh pemasok serta kuota gas yang dikenakan HGBT. Setelah kuota habis, harga gas akan meningkat menjadi harga pasar, yang menyebabkan industri mengurangi penggunaan HGBT. Perusahaan-perusahaan industri yang mendapatkan fasilitas HGBT sangat terbantu dalam operasional mereka. Kelompok industri keramik, misalnya, merasakan manfaat HGBT yang signifikan, sehingga mampu meningkatkan produksinya dan menduduki peringkat ke-4 sebagai produsen keramik terbesar di dunia pada tahun 2024, meningkat pesat dari peringkat ke-8 pada tahun 2019. Selama periode 2020-2024, penerimaan negara dari pajak meningkat sebesar 49%, dari Rp1,7 Triliun menjadi Rp2,6 Triliun. Namun, penyerapan HGBT masih menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, harga gas regasifikasi yang ditawarkan oleh PGN mencapai USD16/MMBTU, yang merupakan sekitar 2,5 kali lipat dari harga HGBT. Selain itu, terdapat pembatasan kuota yang dihitung secara harian atau bulanan dengan penerapan surcharge. Pada tahun 2024, kuota yang ditetapkan adalah 60% dari kontrak di wilayah Jawa bagian barat. Di samping itu, terdapat industri yang telah ditetapkan sebagai penerima HGBT tetapi belum menerima pasokan gas bumi, seperti PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) yang mendapatkan kuota sebesar 40 BBTUD. Sebagian besar industri yang menerima HGBT, yaitu lebih dari 95%, mendapatkan harga gas yang melebihi batas yang ditetapkan (di atas USD6,5 /MMBTU), ungkap Agus. Oleh karena itu, untuk memastikan pengelolaan kebijakan HGBT yang baik, Kemenperin mengusulkan agar kebijakan ini tidak digabungkan. Dengan kata lain, HGBT untuk sektor industri harus berdiri sendiri dan tidak digabungkan dengan pupuk dan kelistrikan. Menperin berpendapat bahwa pupuk telah mendapatkan subsidi untuk harga jualnya, sementara listrik juga telah menerima subsidi biaya energi (subsidi ganda). “Hal ini akan mempengaruhi perhitungan rata-rata harga gas,” jelas Menperin. Agus juga menekankan bahwa sektor industri siap untuk diaudit dari hulu ke hilir terkait penggunaan gas bumi, sehingga kebutuhan yang sebenarnya dapat diketahui dengan jelas. “Pemerintah harus memiliki pemahaman yang sama bahwa program HGBT seharusnya tidak dipandang sebagai beban biaya, melainkan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Meskipun pendapatan negara berkurang akibat pelaksanaan HGBT, namun pendapatan tersebut dapat tertutupi enam kali lipat melalui pajak penjualan produk industri yang menggunakan HGBT,” tutup Menperin.