Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa skema pengenaan pajak penghasilan satu tarif (flat tax) tidak sesuai dengan kebutuhan Indonesia. Dalam Economic Update 2025 yang berlangsung di Jakarta pada hari Rabu, Sri Mulyani menjelaskan bahwa sistem fiskal Indonesia dirancang untuk memiliki fungsi distribusi. Ini berarti bahwa instrumen fiskal didorong untuk memastikan keadilan dalam pembagian beban dan manfaat pembangunan. Dalam konteks penyerapan pajak, Indonesia menerapkan sistem tarif progresif untuk pajak penghasilan (PPh) orang pribadi, yang terdiri dari lima lapisan tarif (5 persen, 15 persen, 25 persen, 30 persen, dan 35 persen) sesuai dengan tingkat kelompok pendapatan. "Bagi mereka yang memiliki pendapatan di atas Rp5 miliar per tahun dan yang pendapatannya di bawah Rp60 juta per tahun, tarif pajaknya harus berbeda. Ini adalah prinsip keadilan dan distribusi," ujar Sri Mulyani. Untuk tarif PPh badan, Pemerintah Indonesia telah menetapkan tarif yang lebih rendah dibandingkan dengan tarif global, yaitu sebesar 22 persen. Sementara itu, tarif global umumnya berkisar antara 30 persen hingga 50 persen. Dari hasil tersebut, pemerintah mengalokasikan belanja negara untuk membantu kelompok masyarakat yang kurang mampu agar dapat mengakses pendidikan, kesehatan, dan layanan lainnya. "Tidak mungkin individu yang tidak menempuh pendidikan bersaing dengan mereka yang bersekolah di Ivy League. Tidak mungkin anak-anak yang tidak mendapatkan imunisasi atau kekurangan gizi dapat bersaing secara adil dan sempurna dengan mereka yang mendapatkan gizi yang baik. Di sinilah peran alat fiskal menjadi penting," kata Sri Mulyani. Dalam acara yang sama, ekonom dari Amerika Serikat, Arthur Laffer, mengusulkan skema pajak datar dengan tarif rendah dan basis pajak yang luas (low-rate, broad-based flat tax). Ia berpendapat bahwa sistem fiskal harus didorong untuk tidak mendiskriminasi kelompok tertentu. Pajak datar juga dianggap netral dan berpotensi meningkatkan pendapatan negara secara signifikan.